Repetisi, Litotes, Ironi, Sarkasme dalam Novel Pena Beracun (Agatha Christie)

(Source: Google, ebooks.gramedia.com)

Siapa yang tak kenal dengan Agatha Christie?

    Penulis dengan nama lengkap Dame Agatha Mary Clarissa Christie, DBE (15 September 1890 – 12 Januari 1976), adalah seorang penulis fiksi kriminal Inggris. Dia juga menulis kisah-kisah roman dengan nama Mary Westmacott.

    Agatha Christie terkenal dengan kisah salah satu tokoh serialnya, Hercule Poirot atau Miss Marple. Dia adalah seorang tokoh besar dalam fiksi detektif untuk keberhasilan komersialnya dan inovasinya dalam genre tersebut. Meskipun dia suka mempersulit kisahnya dengan teka-teki yang lain dari umumnya, dia juga sangat teliti dalam "bermain adil" terhadap para pembacanya dengan memastikan bahwa semua informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan teka-tekinya diberikan.

    Banyak sekali karya dari Agatha Christie yang luar biasa. Selain karena Setiap teka-teki yang diberikan disusun dengn apik dan menggunakan latar setelah perang dunia ke-1, yang membuat menarik adalah gaya bahasa yang di gunakan Agatha Christie di setiap karyanya yang menjadi suatu ciri khas.
Jika kita telaah lebih lanjut, gaya bahasa seperti apa saja yang biasa di gunakan oleh Agatha Christie dalam karyanya? Sebelum masuk dalam analisa gaya bahasa, ada baiknya kita memahami macam-macam gaya bahasa yang ada.

    Gaya bahasa atau stilistika adalah ilmu tentang gaya, gaya adalah ciri-ciri, standar bahasa, gaya juga dapat disebut dengan ekspresi. Meskipun demikian, pada umumnya gaya dianggap sebagai sebuah istilah khusus, semata-mata dibicarakan dan dengan demikian dimanfaatkan dalam bidang tertentu, bidang akademis, yaitu bahasa dan sastra. (Nyoman, Stilistika, 2013: 3-5). Menurut Slamet Muljana, gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa disebut pula dengan Majas.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa (majas) susunan kalimat yang memiliki ciri khas si penulis untuk dapat menyampaian perasaan penulis dan menimbukan efek yang sama kepada pembaca. 

Ada 4 gaya bahasa yang perlu teman-teman ketahui, diantaranya:
A. Majas Penegasan
1. Apofasis atau Preterisio                 11. Antiklimaks 
2. Repitisi                                           12. Antanaklasis
3. Aliterasi                                          13. Pararima 
4. Pleonasme                                      14. Koreksio 
5. Paralelisme                                     15. Sindeton
6. Tautologi                                         16. Eklamasio 
7. Inversi                                             17. Alonim 
8. Ellipsis                                            18. Interupsi 
9. Retoris                                            19. Preterio 
10. Klimaks                                        20. Silepsis

B. Majas Pertentangan
1. Athiteis 
2. Paradoks 
3. Oksimoron 
4. Anakronisme
5. Kontradiksi

C. Majas Sindiran
1. Ironi 
2. Sinisme 
3. Sarkasme
4. Antifrasis
5. Inuendo

D. Majas Perbandingan
1. Metafora                         8. Hiperbola 
2. Sinestesia                        9. Litotes 
3. Simile                            10. Personifikasi 
4. Alegori                          11. Eufemisme 
5. Alusio                            12. Perifrase 
6. Metonimia                     13. Simbolik
7. Antonomasia

    Setelah membaca dan menganalisa pada salah satu karya Agatha Christie yang berjudul Pena Beracun, berikut ini adalah gaya bahasa yang digunakan berikut penjelasannya:
A. Anafora, adalah salah satu jenis penyiasatan struktur sintaksis yang berbasis pada bentuk repetisi. Larik-larik struktur sintaksis yang anaforis dan sekaligus paralelistis yang didukung oleh pilihan kata yang tepat pada umumnya membangkitkan struktur yang ritmis, retoris, dank arena bernilai estetis. (Burhan, Stilistika, 2017: 257).
Contoh: Agatha, Pena beracun, 2017: 78
“Kami terdiam beberapa saat, aku mengisap pipaku. Kami menikmati keadaan yang tenang dan diam itu.”
Ulasan: Penggalan percakapan di atas termasuk pada ranah pengulangan atau repetisi secara umum. Pengulangan kata yang terdapat pada kalimat tersebut terletak pada kata kami. Kata kami merupakan bentuk kata yang jamak atau lebih dari satu dan memaknai atau mewakili beberapa manusia yang dimaksud dalam data tersebut. Pengulangan tersebut dapat dikategorikan sebagai anafora, itu terlihat pada awal dari struktur sintaksis yang pada data tersebut memilih kata kami sebagai awalan. Dengan menggunakan kata kami sebuah teks akan lebih indah dari pada menggunakan penjabaran dari kata kami tersebut.

B. Paralelisme, sebuah teknik berbicara, bertutur, atau berekspresi yang banyak dipakai dalam berbagai ragam bahasa. Paralelisme menunjuk pada penggunaan bentuk, bagian-bagian kalimat, atau kalimat yang mempunyai kesamaan struktur gramatikal dan menduduki fungsi yang lebih sama secara berurutan.
Contoh: Agatha, Pena beracun, 2017: 78
“Aku demikian terkejut hingga pipaku terjatuh dari mulutku. Pipa itu terbuat dari bahan kapur yang dicat bagus, dan pipa itu patah. Aku berkata marah pada megan.”
Ulasan: Ada beberapa pengulangan kata yang terdapat pada data yang tercantum diatas, yakni kata aku, pipaku dengan mulutku, dan pipa. Pada bagian ini terfokus pada pilihan kata ku dalam pipaku dan mulutku, kata ku sangat mempengaruhi makna dari suatu kata yang apabila dikaji akan bermakna kepemilikan. Seperti pipaku, kata tersebut memiliki makna bahwa suatu barang yang dimiliki oleh aku atau melambangkan kepunyaan. “Ku” merupakan sebuah kata ganti yang ditulis dengan kata pendahulunya, kata ganti tersebut dipilih agar pembaca dapat membayangkan bahwa pipa itu adalah kepunyaan saya di dalam novel tersebut.

C. Repetisi, bentuk pengulangan baik yang berupa pengulangan bunyi, kata, bentuk kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang lain bertujuan untuk memperindah penuturan.
Contoh: Agatha, Pena beracun, 2017: 79 “Ya,” kata megan. “Ya, itulah yang selalu dikatakan orang bila kita mengatakan yang sebenarnya. Dan apa yang saya katakana tadi memang benar. Kehadiran saya tidak diinginkan, dan saya mengerti sekali apa sebabnya. Ibu tak sedikit pun suka pada saya. Saya rasa, saya mengingatkan ibu akan kekejaman dan kengerian ayah padanya. Itu yang selalu saya dengar.”
Ulasan: Dapat kita lihat dari data yang telah tertulis di atas bahwa kata saya terlihat mendominasi di dalamnya, hal tersebut dapat mempengaruhi baik dalam keindahan teks itu sendiri maupun terhadap pembaca. Dengan munculnya kata pengulangan “saya” yang terdapat di awal, di tengah, dan di akhir kalimat maka dapat dikategorikan sebagai teori repetisi atau pengulangan dari sebuah kata.

D. Asindenton 
Contoh: Agatha, Pena beracun, 2017: 80
“Waktu saya masih sekolah, keadaannya belum separah sekarang tapi Anda melihatnya sendiri, yang disukai ibu sebenarnya hanyalah dirinya sendiri, ayah tiri saya, dan kedua anak laki-laki mereka itu.”
Ulasan: Data yang diperoleh merupakan sebuah data yang mengarah pada penyiasatan struktur asindenton karena didalam kalimat atau data tersebut terdapat sebuah pengulangan yang berbentuk pungtuasi atau yang lebih umum terdapat pengulangan tanda koma (,). Pungtuasi itu sendiri merupakan suatu tanda grafis yang digunakan secara konvensional untuk memisahkan bagian suatu satuan bahasa tertulis, apabila kita kaji dalam data tersebut terdapat gagasan yang diapit oleh tanda koma dan gagasannya memiliki keseimbangan atau sederajat, seperti pada kalimat “Keadaan belum separah sekarang tapi Anda melihatnya sendiri, yang disukai ibu hanyalah dirinya sendiri,” hal ini menunjukkan bahwa sanya kalimat tersebut diapit oleh suatu tanda baca yaitu koma dan mendapat penekanan sama pada kata “sendiri” karena kata tersebut memiliki arti yang tidak berbeda. Pengapitan tanda koma tersebut mempengaruhi daya emosi pembaca sehingga cenderung lebih tegang atau pembaca merasakan adanya ketegangan didalam kalimat tersebut.

E. Polisindenton 
Contoh: Agatha, Pena beracun, 2017: 216
“Perhatikanlah apa yang diperbuat orang dengan tangannya, dan segala gerak-geriknya yang kecil-kecil, dan cara mereka memakan makanannya, dan kapan mereka kadang-kadang tertawa tanpa alasan yang nyata.” 
Ulasan: Bagian ini merupakan sebuah teori penyiasatan struktur yang terfokus pada bagian polisindenton, data yang telah tercantum merupakan sebuah data yang termasuk pada teori tersebut, polisindenton ini merupakan suatu teori yang didalamnya terdapat suatu pengulangan kata tugas seperti kata dan, ke, karena, dan dari. Masing-masing kata tersebut dapat bermakna apabila digunakan dalam suatu konyteks kalimat namun kata tersebut tidak dapat ditimbah ditambah atau disandingkan dengan imbuhan misalnya mengarena karena bentuk semacam itu tidak dapat diterima. Data tersebut memiliki tiga kata tugas yang sama atau berulang-ulang yakni kata “dan”, kata tersebut berguna untuk menyambung satu kalimat dengan kalimat lainnya yang masih saling berkaitan. Kata “dan” memiliki keindahan tersendiri yakni mampu memberikan kejelasan bahwasanya kalimat itu masih saling berkesinambungan atau saling berkaitan sehingga pembaca menyadari adanya keterkaitan tersebut dan mampu menciptakan suatu penekanan yang sama.

F. Hiperbola 
Contoh: Agatha, Pena beracun, 2017: 85
“Seperti biasa, aku merasa heran, karena cara jalannya lebih mirip orang yang sedang berburu dari pada berjalan santai, dan matanya selalu tertuju kearah kaki langit hingga hampir-hampir yakin bahwa tempat yang ditujunya sebenarnya masih sekitar satu setengah mil jauhnya.” 
Ulasan: Data tersebut merupakan bagian dari penyiasatan struktur yang mengarah pada hiperbola. Hiperbola itu sendiri merupakan suatu maksud untuk melebih-lebihkan suatu hal sehingga terdapat suatu penekanan yang khusus didalamnya. Pada kalimat tersebut terdapat hiperbola yang terdapat pada bagian “ dan matanya selalu tertuju ke arah kaki langit”, kalimat ini sungguh sangat berlebihan bukankah langit tidak memiliki kaki. Kalimat ini mempengaruhi pikiran pembaca, pada kalimat tersebut pembaca harus mengerti dan berfikir secara logis apa maksud dari kata-kata yang beraliran hiperbola tersebut. Sesungguhnya maksud dari kalimat tersebut hanyalah memandangi batas pandangan antara langit dan bumi saja, namun agar lebih menarik pengarang tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola guna merangsang imajinasi, imaji, dan cerapan indra pembaca untuk lebih tertarik terhadap cerita tersebut serta berkesan tidak monoton dalam suatu tulisan.

G. Litotes, kebalikan dari gaya Bahasa Hiperbola, gaya litotes justru dengan cara mengecilkan fakta dari sesungguhnya ada.
Contoh: Agatha, Pena beracun, 2017: 80
“Saya rasa, saya tak bisa. Saya terlalu tolol untuk mempelajari sesuatu.”
Ulasan: Pada data di atas yang mengungkapkan bahwasanya “saya rasa, saya tak bisa. Saya terlalu tolol untuk mempelajari sesuatu.” Kalimat ini apabila dimaknai tanpa melihat teori litotes atau biasa-biaa saja maka akan bermakna sama dengan apa yang sedang diucapkan pada data tersebut yakni dia merasa bodoh, tidak mampu dan menyerah, namun apabila dikaji menggunakan teori litotes maka data tersebut menggambarkan suatu kerendahan hati agar oleh pembaca tidak dipahami berlebihan, apabila dalam kalimat tersebut diganti agar bermakna berlebihan maka pembaca akan menganggapnya suatu kesombongan karena terlalu jujur dalam mengungkapkan apa yang dimilikinya. Dalam data tersebut ada kata pendukung yang menandakan bahwasanya data tersbut masuk dalam teori litotes, kata pendukung tersebut terletak pada awal dari kalimat tersebut yang mengatakan “saya rasa”. Klausa tersebut menandakan adanya keraguan dan ketidak nyamanan apabila yang dimaksud dalam cerita tersebut langsung menyetujuinya, klausa tersebut menambah keindahan saat dibaca karena dengan adanya klausa itu maka kalimat selanjutkan terasa lebih hidup dan berwarna.

H. Ironi
Contoh: Agatha, Pena beracun, 2017: 106
“Itu semuanya dilakukan dengan penuh sopan santun, tapi ruang sidang penuh sesak dan menurut penilaian Joanna banyak sekali topi-topi wanita yang bentuknya lucu-lucu.”
Ulasan: Contoh di atas termasuk ironi, karena di dalamnya terkandung makna sindirian yang beritensitas rendah atau dapat kita artikan halus. Dalam novel banyak terdapat teori-teori lainnya yang digunakan untuk memikat minat pembaca agar pembaca mampu terbawa suasana yang tercipta pada novel tersebut, salah satu teori yang terdapat pada novel ini adalah teori ironi, apabila kita kaji data tersebut maka terdapat sebuah sindiran yang berintensitas rendah seperti pada bagian “tapi ruang sidang penuh sesak dan menurut penilaian Joanna banyak sekali topi-topi wanita yang bentuknya lucu-lucu.” Dari potongan data tersebut terdapat kata “tapi” yang menandakan suatu penolakan secara tidak langsung sehingga berpotensi menjadi sebuah sindirian pada kalimat berikutnya, kemudian pada potongan kalimat “banyak sekali topi-topi wanita yang bentuknya lucu-lucu.” Kata “banyak sekalli” yang tercantum merupakan suatu ungkapan ketidak sukaan atau penolakan secara tidak langsung terhadap suasana yang sedang terjadi sehingga menghasilkan suatu sindirian yang berintensitas lebih rendah, walaupun pada akhir kalimat terdapat kata “lucu“ hal tersebut hanyalah sebagai penyamaran atau pengalih dari apa yang dimaksud sebenarnya sehingga kesannya tidak secara langsung kita mengungkapkan suatu sindiran terhadap situasi yang ada.

I. Sarkasme
Contoh: Agatha, Pena beracun, 2017: 93
“Selamat pagi, Dokter Griffith, kata Joanna, dengan suara nyaring seperti kalau dia bercakap-cakap dengan salah seorang bibi kami yang tuli.”
Ulasan: Data yang disertakan oleh penulis merupak bagian dari teori sarkasme, karena dalam data tersebut menggambarkan adanya suatu kata sindiran yang berintensitas lebih tinggi atau kasar. Kebanyakan novel sastra terdapat teori sasrkasme ini namun tidak dapat kita pastikan juga kebenarannya. Penyertaan teori sarkasme oleh pengarang berguna untuk memikat ketertarikan pembaca terhadap suatu novel tertentu agar pembaca semakin terlena atas apa yang telah terjadi pada novel tersebut. Sindiran merupakan suatu tindakan secara tidak langsung yang dipergunakan untuk menolak perbuatan yang tidak kita sukai, begitupula yang terjadi pada data yang telah tercantum diatas. Apabila kita kaji dari potongan kalimat “seperti kalau dia bercakap-cakap dengan salah seorang bibi kami yang tuli” pada potongan kalimat ini terdapat sebuah sindiran yang berintensitas tinggi atau cenderung lebih kasar yang terletak pada kata “tuli”, kata tersebut dapat kita katakana bahwa tingkat kekasarannya sangat tinggi karena tidak berusaha untuk meredam suatu pernyataan yang berkesan tidak etis untuk diucapkan. Kata “tuli” tersebut juga memperkuat adanya suatu pernyataan sindiran sebelum kata “tuli” itu diucapkan. Pada bagian ini pembaca akan lebih mudah merasakan suatu sindiran atau penolakan sesuatu hal secara kasar atau secara terbuka.









Daftar Pustaka
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Agatha_Christie
2. http://alfanpratamaputra.blogspot.com/2018/10/analisis-novel-pena-beracun-karya.html?m=1
3. https://kartikaaditya.wordpress.com/2017/03/23/pengertian-gaya-bahasa-dn-contohnya/

Comments

Popular posts from this blog

Nilai Uang Bertambah atau Berkurang, Time Value of Money

Mengenal Laporan Keuangan